Selasa, 13 November 2012

KAJIAN BUDAYA MELAYU



BAB 1
PENDAHULUAN

Sejarah kebudayaan Melayu mencakup dimensi dan wilayah geografis yang luas, dengan rentang masa yang panjang. Secara geografis, kawasan tersebut mencakup Indonesia, Singapura, Malaysia, Brunei, Filipina dan Thailand Selatan. Pada abad ke-7 M, orang Melayu bermigrasi dalam jumlah besar ke Madagaskar, sebuah pulau di benua Afrika. Sejak saat itu, kebudayaan Melayu juga berkembang di Madagaskar. Bahasa orang-orang keturunan Melayu di pulau ini banyak memiliki persamaan dengan bahasa Dayak Maanyan di Kalimantan. Ketika Syeikh Yusuf  Tajul Khalwati diasingkan kolonial Belanda ke Tanjung Harapan (Afrika Selatan), ia bersama pengikutnya mengembangkan agama Islam dan budaya Melayu. Sejak saat itu, kebudayaan Melayu berkembang pula di Afrika Selatan.
Sepanjang perjalanan sejarahnya, banyak kerajaan yang telah berdiri di kawasan Melayu ini, yang tertua adalah Koying di Jambi (abad ke-3 M) dan Kutai di Kalimantan (abad ke-4 M). Tidak menutup kemungkinan, masih ada kerajaan yang berdiri lebih awal, namun belum ditemukan data sejarahnya. Setelah Koying dan Kutai, kerajaan Melayu lainnya muncul dan tenggelam silih berganti. Di antara kerajaan-kerajaan tersebut, ada yang hanya seluas kampung atau distrik kecil, namun ada pula yang berhasil menjadi imperium, seperti Sriwijaya di Sumatera, Indonesia. Secara kronologis, sebagian kerajaan tersebut adalah: Melayu Kuno (abad ke-6 M), Sriwijaya (abad ke-7 M) dan Minangkabau (abad ke-7 M), semuanya di Indonesia; Brunei di Brunei Darussalam (abad ke-7 M); Pattani di  Thailand (abad ke-11 M);  Ternate (abad ke-13 M),  Pasai (abad ke-13 M) dan Indragiri (abad ke-13 M), semuanya di Indonesia;  Tumasik di Singapura (abad ke-14 M);  Malaka di Malaysia (abad ke-14 M); Pelalawan di Indonesia (abad ke-14 M); Riau-Johor di Semenanjung Melayu (abad ke-16 M); Merina di Madagaskar (abad ke-17 M); Siak Sri Indrapura (abad ke-18 M), Riau-Lingga (abad ke-18 M) dan Serdang (abad ke-18 M), ketiganya di Indonesia.
Kerajaan-kerajaan yang pernah berdiri di kawasan Melayu ini selalu menjalin relasi dengan kerajaan lain yang berdiri saat itu, terutama dengan dua kekuatan besar Asia: Cina dan India. Oleh sebab itu, kerajaan-kerajaan tersebut banyak terdapat dalam catatan Cina, seperti catatan K‘ang-tai dan Wan-chen dari dinasti Wu (222-280 M) yang menceritakan tentang keberadaan kerajaan Koying di Sumatera.
Pada abad ke-16 M, kolonial Eropa (Inggris, Spanyol, Portugis, Perancis dan Belanda) masuk ke kawasan Melayu. Dalam perkembangannya, hampir seluruh kawasan ini tunduk pada kekuatan kolonial tersebut, bahkan banyak yang runtuh,  seperti Malaka di Malaysia.  Singkat kata, Kerajaan Melayu memang telah runtuh, namun kebudayaannya tidak akan musnah (sebagaimana dikatakan Hang Tuah, “Tak kan Melayu hilang di dunia”). Kebudayaan Melayu selalu ada dan ruhnya akan bangkit kembali, baik di daerah asalnya ataupun di kawasan lain. Minat dan perhatian kita terhadap budaya ini,  sebenarnya refleksi dan bukti dari masih kuatnya ruh budaya Melayu tersebut dalam jiwa para pendukungya.











BAB II
HAL-HAL PENYEBAB PERUBAHAN BUDAYA MELAYU

A. Kebudayaan Melayu Kini
Muncul, berkembang dan redupnya suatu kebudayaan sangat tergantung pada faktor internal dan eksternal. Faktor internal berkaitan dengan sikap pendukung kebudayaan itu sendiri; sementara faktor eksternal berhubungan dengan penetrasi kebudayaan luar. Penetrasi kebudayaan luar merupakan konsekuensi logis dari pilihan untuk membuka relasi dengan kebudayaan lain. Namun, pengaruh dari penetrasi tersebut akan sangat tergantung pada pola respons pendukung kebudayaan yang bersangkutan. Dalam kerangka pemikiran di atas, maka, redup atau berkembangnya kebudayaan Melayu akan sangat tergantung pada orang Melayu, dalam mengembangkan kebudayaannya sendiri dan merespons penetrasi kebudayaan asing. Cabaran yang paling nyata saat ini adalah minindak lanjuti negara-negara barat terhadap dunia Melayu, yang telah membawa implikasi-implikasi tersendiri terhadap kehidupan orang-orang Melayu.
Saat ini, orang-orang Melayu menyadari bahwa mereka pernah berjaya di masa lalu. Berbagai peninggalan sejarah sebagai bukti kejayaan masa lalu tersebut masih bisa disaksikan hingga saat ini. Ketika berkaca ke masa lalu dan membandingkannya dengan keadaan masa kini, orang-orang Melayu kemudian menyadari bahwa mereka sebenarnya, dalam tataran tertentu, telah cukup jauh meninggalkan bahkan melupakan akar kebudayaannya; mereka telah menjadi kelompok marjinal, bahkan di negeri sendiri. Dari situ, kemudian muncul keinginan dan kesadaran baru untuk memperhatikan dan menghidupkan kembali kebudayaan Melayu tersebut dalam kehidupan sehari-hari. Perhatian dan keinginan tersebut tidak hanya dilatari oleh nostalgia dan romantisme masa lalu, tapi juga disebabkan oleh adanya kesadaran dan pengetahuan tentang keagungan dan keluhuran budaya Melayu tersebut. Untuk itulah, aspek-aspek mengenai kebudayaan Melayu, seperti pandangan hidup, tunjuk ajar, adat istiadat, bahasa dan sastra perlu diaktualisasikan kembali dalam kehidupan sehari-hari.
B. Peradaban melayu era globalisasi
Kebudayaan modern dan post-modern menimbulkan perubahan di berbagai aspek kehidupan dengan tingkat kecepatan yang mengejutkan. Perubahan itu dipicu oleh kecepatan pertukaran informasi yang disajikan setiap detiknya oleh  televisi, radio dan media-media lain (Adeney, 2004). Media-media informasi itu mengaburkan batas-batas fisik dan budaya sehingga menciptakan dunia baru dengan batas-batas wilayah dan nilai yang bersifat relative, Proses perubahan terpenting yang melanda masyarakat Melayu adalah perubahan cara berpikir dan cara memandang dunia.
Dalam bukunya yang berjudul “Al Muqaddimah”, Ibnu Khaldun mengatakan bahwa budaya yang lebih kuat akan mempengaruhi budaya-budaya lain yang lebih lemah (Khaldun, 1989). Di kalangan masyarakat Melayu yang sebagian besar hidup di negara-negara berkembang, kecenderungan untuk ikut menikmati produk kebudayaan modern terlihat sangat kuat. Masyarakat Melayu, dalam beberapa hal, mencontoh kebudayaan Barat, sehingga proses transformasi ideologi dan cara berpikir dari Barat berjalan dengan mulus. Dari sini muncul problem keberpihakan, yaitu keberpihakan terhadap produk-produk budaya Barat yang dapat dilihat melalui gaya hidup dan pola berpikir, yang mengindikasikan adanya perubahan karakter orang Melayu. Secara fisik, karakter orang Melayu tidak berubah, tetapi karakter kejiwaan telah mengalami perubahan.
Pola saling menghormati dan saling memberi yang dikenal dengan saling menanam budi masih hidup dalam masyarakat Melayu hingga saat ini. Bahkan kebiasaan itu tidak hanya berlaku untuk orang Melayu saja, tetapi juga untuk sukubangsa lain dan orang asing, terutama orang Cina yang sudah lama menetap di daerah ini. Kebiasaan memberi dan saling menghormati telah mentradisi yang terjalin dalam hubungan orang Melayu dan orang Cina hingga saat ini. Kebiasaan itu sudah menjadi adat kebiasaan yang meresap dan merupakan salah satu ciri sifat kepribadian orang Melayu, Namun, masyarakat dan kebudayaan di mana pun selalu dalam keadaan berubah, sekalipun masyarakat dan kebudayaan primitif yang terisolasi jauh dari berbagai perhubungan dengan masyarakat yang lainnya. Tak terkecuali dengan masyarakat Melayu Riau. Terjadinya perubahan ini disebabkan oleh beberapa hal:
  1. Sebab-sebab yang berasal dari dalam masyarakat dan kebudayaan sendiri, misalnya perubahan jumlah dan komposisi penduduk.
  2. Sebab-sebab perubahan lingkungan alam dan fisik tempat mereka hidup. Masyarakat yang hidupnya terbuka, yang berada dalam jalur-jalur hubungan dengan masyarakat dan kebudayaan lain, cenderung untuk berubah secara lebih cepat.
Untuk itu supaya budaya melayu itu tidak mengalami pudar, orang melayu harus memahami khomperenshif tentang melayu, Dengan demikian, mempelajari Melayu seharusnya tidak memutus mata rantai perjalanan sejarahnya. Sejarah Melayu telah berlangsung selama berabad-abad. Menelaah dunia Melayu secara komprehensif. Metode pengkajian yang demikian itu juga berlaku dalam budaya. Dalam budaya Melayu terdapat unsur-unsur yang tampak seperti, kesenian, upacara adat, peralatan, busana, kuliner, dan lain sebagainya, dan unsur-unsur yang tidak tampak, seperti bahasa, keyakinan, dan pandangan hidup.










BAB III
KESIMPULAN

Perubahan-perubahankebudayaan sangat tergantung pada faktor internal dan eksternal. Faktor internal berkaitan dengan sikap pendukung kebudayaan itu sendiri; sementara faktor eksternal berhubungan dengan penetrasi kebudayaan luar. Penetrasi kebudayaan luar, . Namun, pengaruh dari penetrasi tersebut akan sangat tergantung pada pola respons pendukung kebudayaan yang bersangkutan. Dalam kerangka pemikiran,. Untuk itu orang melayu harus memahami khomperenshif tentang melayu, Dengan demikian, mempelajari Melayu seharusnya tidak memutus mata rantai perjalanan sejarahnya.













DAFTAR PUSTAKA


Abdullah, Irwan. 2006. Konstruksi dan Reproduksi Kebudayaan. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Adeney, T. Bernard. 2005. “Tantangan dan Dampak Kebudayaan Modern dan Pasca Modern” dalam Sociology of Religion Reader, Benard T. Adeney (eds).Yogyakarta: CRCS.

Ansor, Muhammad. 2005. “Pembacaan Kontemporer Atas Islam, Melayu dan Etnisitas” dalam Lima Kebanggaan Anak Melayu Riau, Baharuddin Husin dan Dasril Affandi (eds). Jakarta: Persatuan Masyarakat Riau-Jakarta.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar