BAB 1
PENDAHULUAN
Sejarah kebudayaan
Melayu mencakup dimensi dan wilayah geografis yang luas, dengan rentang masa
yang panjang. Secara geografis,
kawasan tersebut mencakup Indonesia, Singapura, Malaysia, Brunei, Filipina dan
Thailand Selatan. Pada abad ke-7 M, orang Melayu bermigrasi dalam jumlah besar
ke Madagaskar, sebuah pulau di benua Afrika. Sejak saat itu, kebudayaan Melayu
juga berkembang di Madagaskar. Bahasa orang-orang keturunan Melayu di pulau ini
banyak memiliki persamaan dengan bahasa Dayak Maanyan di Kalimantan. Ketika
Syeikh Yusuf Tajul Khalwati diasingkan kolonial Belanda ke Tanjung
Harapan (Afrika Selatan), ia bersama pengikutnya mengembangkan agama Islam dan
budaya Melayu. Sejak saat itu, kebudayaan Melayu berkembang pula di
Afrika Selatan.
Sepanjang perjalanan
sejarahnya, banyak kerajaan yang telah berdiri di kawasan Melayu ini, yang
tertua adalah Koying di Jambi (abad ke-3 M) dan Kutai di Kalimantan (abad ke-4
M). Tidak menutup kemungkinan, masih ada kerajaan yang berdiri lebih awal, namun
belum ditemukan data sejarahnya. Setelah Koying dan Kutai, kerajaan Melayu
lainnya muncul dan tenggelam silih berganti. Di antara kerajaan-kerajaan
tersebut, ada yang hanya seluas kampung atau distrik kecil, namun ada pula yang
berhasil menjadi imperium, seperti Sriwijaya
di Sumatera, Indonesia.
Secara kronologis, sebagian kerajaan tersebut adalah: Melayu Kuno (abad ke-6
M), Sriwijaya (abad ke-7 M) dan Minangkabau (abad ke-7 M), semuanya di
Indonesia; Brunei di Brunei Darussalam (abad ke-7 M); Pattani di Thailand
(abad ke-11 M); Ternate (abad ke-13 M), Pasai (abad ke-13 M) dan
Indragiri (abad ke-13 M), semuanya di Indonesia; Tumasik di Singapura
(abad ke-14 M); Malaka di Malaysia (abad ke-14 M); Pelalawan di Indonesia
(abad ke-14 M); Riau-Johor di Semenanjung Melayu (abad ke-16 M); Merina di
Madagaskar (abad ke-17 M); Siak Sri Indrapura (abad ke-18 M), Riau-Lingga (abad
ke-18 M) dan Serdang (abad ke-18 M), ketiganya di Indonesia.
Kerajaan-kerajaan yang
pernah berdiri di kawasan Melayu ini selalu menjalin relasi dengan kerajaan
lain yang berdiri saat itu, terutama dengan dua kekuatan besar Asia: Cina dan India. Oleh
sebab itu, kerajaan-kerajaan tersebut banyak terdapat dalam catatan Cina,
seperti catatan K‘ang-tai dan Wan-chen dari dinasti Wu (222-280 M) yang
menceritakan tentang keberadaan kerajaan Koying di Sumatera.
Pada abad ke-16 M,
kolonial Eropa (Inggris, Spanyol, Portugis, Perancis dan Belanda) masuk ke
kawasan Melayu. Dalam perkembangannya, hampir seluruh kawasan ini tunduk pada
kekuatan kolonial tersebut, bahkan banyak yang runtuh, seperti Malaka di
Malaysia. Singkat kata, Kerajaan Melayu memang telah runtuh, namun
kebudayaannya tidak akan musnah (sebagaimana dikatakan Hang Tuah, “Tak kan Melayu hilang di
dunia”). Kebudayaan Melayu selalu ada dan ruhnya akan bangkit kembali, baik di
daerah asalnya ataupun di kawasan lain. Minat dan perhatian kita terhadap
budaya ini, sebenarnya refleksi dan bukti dari masih kuatnya ruh budaya
Melayu tersebut dalam jiwa para pendukungya.
BAB
II
HAL-HAL
PENYEBAB PERUBAHAN BUDAYA MELAYU
A.
Kebudayaan Melayu Kini
Muncul, berkembang dan
redupnya suatu kebudayaan sangat tergantung pada faktor internal dan eksternal.
Faktor internal berkaitan dengan sikap pendukung kebudayaan itu sendiri;
sementara faktor eksternal berhubungan dengan penetrasi kebudayaan luar.
Penetrasi kebudayaan luar merupakan konsekuensi logis dari pilihan untuk
membuka relasi dengan kebudayaan lain. Namun, pengaruh dari penetrasi tersebut
akan sangat tergantung pada pola respons pendukung kebudayaan yang
bersangkutan. Dalam kerangka pemikiran di atas, maka, redup atau berkembangnya
kebudayaan Melayu akan sangat tergantung pada orang Melayu, dalam mengembangkan
kebudayaannya sendiri dan merespons penetrasi kebudayaan asing. Cabaran yang paling
nyata saat ini adalah minindak lanjuti negara-negara barat terhadap dunia
Melayu, yang telah membawa implikasi-implikasi tersendiri terhadap kehidupan
orang-orang Melayu.
Saat ini, orang-orang Melayu menyadari bahwa
mereka pernah berjaya di masa lalu. Berbagai peninggalan sejarah sebagai bukti
kejayaan masa lalu tersebut masih bisa disaksikan hingga saat ini. Ketika
berkaca ke masa lalu dan membandingkannya dengan keadaan masa kini, orang-orang
Melayu kemudian menyadari bahwa mereka sebenarnya, dalam tataran tertentu,
telah cukup jauh meninggalkan bahkan melupakan akar kebudayaannya; mereka telah
menjadi kelompok marjinal, bahkan di negeri sendiri. Dari situ, kemudian muncul
keinginan dan kesadaran baru untuk memperhatikan dan menghidupkan kembali kebudayaan
Melayu tersebut dalam kehidupan sehari-hari. Perhatian dan keinginan tersebut
tidak hanya dilatari oleh nostalgia dan romantisme masa lalu, tapi juga
disebabkan oleh adanya kesadaran dan pengetahuan tentang keagungan dan
keluhuran budaya Melayu tersebut. Untuk itulah, aspek-aspek mengenai kebudayaan
Melayu, seperti pandangan hidup, tunjuk ajar, adat istiadat, bahasa dan sastra
perlu diaktualisasikan kembali dalam kehidupan sehari-hari.
B. Peradaban melayu era globalisasi
Kebudayaan modern dan
post-modern menimbulkan perubahan di berbagai aspek kehidupan dengan tingkat
kecepatan yang mengejutkan. Perubahan itu dipicu oleh kecepatan pertukaran
informasi yang disajikan setiap detiknya oleh televisi, radio dan media-media lain (Adeney,
2004). Media-media informasi itu mengaburkan batas-batas fisik dan budaya
sehingga menciptakan dunia baru dengan batas-batas wilayah dan nilai yang
bersifat relative, Proses perubahan terpenting yang melanda masyarakat Melayu
adalah perubahan cara berpikir dan cara memandang dunia.
Dalam bukunya yang
berjudul “Al Muqaddimah”, Ibnu Khaldun mengatakan bahwa budaya yang lebih kuat
akan mempengaruhi budaya-budaya lain yang lebih lemah (Khaldun, 1989). Di
kalangan masyarakat Melayu yang sebagian besar hidup di negara-negara berkembang,
kecenderungan untuk ikut menikmati produk kebudayaan modern terlihat sangat
kuat. Masyarakat Melayu, dalam beberapa hal, mencontoh kebudayaan Barat,
sehingga proses transformasi ideologi dan cara berpikir dari Barat berjalan
dengan mulus. Dari sini muncul problem keberpihakan, yaitu keberpihakan
terhadap produk-produk budaya Barat yang dapat dilihat melalui gaya hidup dan pola berpikir, yang
mengindikasikan adanya perubahan karakter orang Melayu. Secara fisik, karakter
orang Melayu tidak berubah, tetapi karakter kejiwaan telah mengalami perubahan.
Pola saling menghormati dan saling memberi yang dikenal dengan saling
menanam budi masih hidup dalam masyarakat Melayu hingga saat ini. Bahkan
kebiasaan itu tidak hanya berlaku untuk orang Melayu saja, tetapi juga untuk
sukubangsa lain dan orang asing, terutama orang Cina yang sudah lama menetap di
daerah ini. Kebiasaan memberi dan saling menghormati telah mentradisi yang
terjalin dalam hubungan orang Melayu dan orang Cina hingga saat ini. Kebiasaan
itu sudah menjadi adat kebiasaan yang meresap dan merupakan salah satu ciri
sifat kepribadian orang Melayu, Namun, masyarakat dan kebudayaan di mana pun
selalu dalam keadaan berubah, sekalipun masyarakat dan kebudayaan primitif yang
terisolasi jauh dari berbagai perhubungan dengan masyarakat yang lainnya. Tak
terkecuali dengan masyarakat Melayu Riau. Terjadinya perubahan ini disebabkan
oleh beberapa hal:
- Sebab-sebab yang berasal dari dalam masyarakat dan kebudayaan sendiri, misalnya perubahan jumlah dan komposisi penduduk.
- Sebab-sebab perubahan lingkungan alam dan fisik tempat mereka hidup. Masyarakat yang hidupnya terbuka, yang berada dalam jalur-jalur hubungan dengan masyarakat dan kebudayaan lain, cenderung untuk berubah secara lebih cepat.
Untuk itu supaya budaya
melayu itu tidak mengalami pudar, orang melayu harus memahami khomperenshif
tentang melayu, Dengan demikian, mempelajari Melayu seharusnya tidak memutus
mata rantai perjalanan sejarahnya. Sejarah Melayu telah berlangsung selama
berabad-abad. Menelaah dunia Melayu secara komprehensif. Metode pengkajian yang
demikian itu juga berlaku dalam budaya. Dalam budaya Melayu terdapat
unsur-unsur yang tampak seperti, kesenian, upacara adat, peralatan, busana,
kuliner, dan lain sebagainya, dan unsur-unsur yang tidak tampak, seperti
bahasa, keyakinan, dan pandangan hidup.
BAB III
KESIMPULAN
Perubahan-perubahankebudayaan
sangat tergantung pada faktor internal dan eksternal. Faktor internal berkaitan
dengan sikap pendukung kebudayaan itu sendiri; sementara faktor eksternal
berhubungan dengan penetrasi kebudayaan luar. Penetrasi kebudayaan luar, .
Namun, pengaruh dari penetrasi tersebut akan sangat tergantung pada pola
respons pendukung kebudayaan yang bersangkutan. Dalam kerangka pemikiran,.
Untuk itu orang melayu harus memahami khomperenshif tentang melayu, Dengan
demikian, mempelajari Melayu seharusnya tidak memutus mata rantai perjalanan
sejarahnya.
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah,
Irwan. 2006. Konstruksi dan Reproduksi Kebudayaan. Yogyakarta:
Pustaka Pelajar.
Adeney, T. Bernard. 2005. “Tantangan dan Dampak Kebudayaan Modern dan Pasca Modern” dalam Sociology of Religion Reader, Benard T. Adeney (eds).Yogyakarta: CRCS.
Ansor, Muhammad. 2005. “Pembacaan Kontemporer Atas Islam, Melayu dan Etnisitas” dalam Lima Kebanggaan Anak Melayu Riau, Baharuddin Husin dan Dasril Affandi (eds). Jakarta: Persatuan Masyarakat Riau-Jakarta.
Adeney, T. Bernard. 2005. “Tantangan dan Dampak Kebudayaan Modern dan Pasca Modern” dalam Sociology of Religion Reader, Benard T. Adeney (eds).Yogyakarta: CRCS.
Ansor, Muhammad. 2005. “Pembacaan Kontemporer Atas Islam, Melayu dan Etnisitas” dalam Lima Kebanggaan Anak Melayu Riau, Baharuddin Husin dan Dasril Affandi (eds). Jakarta: Persatuan Masyarakat Riau-Jakarta.